Rindu KHILAFAH
 
“Demokrasi merupakan sistemnya orang kafir. Politik demokrasi merupakan politik kotor dan bohong,” tegasnya.

Baasyir memang terkenal sebagai sosok yang tanpa tedeng aling-aling dan tak kenal kompromi ketika memberikan pendapat. Apa yang terpikir di kepalanya, itulah yang akan dikeluarkan olehnya. Begitu pula saat dia ditemui wartawan, beberapa saat setelah selesai memberikan siramah rohani.

Tak jauh berbeda dengan saat menyampaikan siramah rohani, kepada wartawan Baasyir juga mengaku dirinya tak mau mengikuti perkembangan pemilu. Menurutnya, demokrasi itu merupakan permainan yang kotor.

“Sekarang ini yang akan saya lakukan untuk melawan demokrasi adalah melalui dakwah dan jihad. Tapi karena saat ini saya tak mampu melakukan jihad, maka saya hanya berdakwah untuk memberikan penerangan apa yang benar dan apa yang salah,” imbuhnya.

Abu Bakar Baasyir merupakan pendiri Ponpes Al-Mukmin Al-Mukmin di Ngruki, Jawa Tengah, bersama dengan Abdullah Sungkar, Yoyo Ruswadi., Abdul Qohar, Daeng Matase dan Abdllah Braja. Dia pernah ditangkap pada 1983. (http://www.metrobalikpapan.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=14731)
 
Sungguh mengherankan ketika ada penulis yang mengklaim aktivis dakwah dalam sebuah situs Islam menyatakan demokrasi adalah milik umat Islam yang dicuri oleh Barat. Na’ûdzubillâh!
Pandangan menyesatkan seperti ini biasanya muncul karenakeliru dalam memahami fakta demokrasi atau sekadar mencari-cari legitimasi (alasan)untuk membenarkan tindakan keliru yang selama ini mereka lakukan.Demokrasi, misalnya, dilihat hanya sekadarpemilihan kepala negara (pemimpin) oleh rakyat; atau hanya proses pengambilan keputusan yang sama dengan musyawarah; atau sekadar kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan mengkritik penguasa. Dari situ muncul anggapan bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam.Kita seakan-akan melupakan, bahwa demokrasi adalah sebuah sistem politik yang muncul dari akidah sekularisme dengan prinsip-prinsip pokoknya yang bertentangan dengan Islam. Demokrasi merupakan istilah Barat, yang oleh presiden AS Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburg (1863) dikatakansebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.Prinsip pokok demokrasi yang paling mendasar adalah kedaulatan rakyat. Suara rakyat dianggap sebagai sumber hukum (source of law) yang paling pokok dan paling tinggi. Karena itu, kebenaran harus didasarkan pada suara mayoritas rakyat. Rakyat mempunyai otoritas mengangkat dan memberhentikan pemimpin. Rakyat juga berhak membuat peraturan dan UU karena mereka adalah pemilik kedaulatan melalui wakil-wakil mereka di parlemen. Berdasarkan prinsip penting ini perkara yang benar dan salah kemudian ditentukan oleh suara manusia atas nama suara rakyat atau suara mayoritas. Berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat ini kemudian dibangun sistem berikut mekanismenya. Dibuatlah sistem Pemilu regular untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat. Terdapat lembaga parlemen yang diklaim merupakan representasi rakyat, mekanisme pengambilan keputusan di parlemen yang berdasarkan suara terbanyak, pembagian kekuasaan yang dikenal dengan trias politika dan mekanisme koreksi lewat partai-partai politik. Semua itu dibangun untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.Dalam Islam sangat jelas bahwa kedaulatan bukanlah di tangan rakyat, tetapi di tangan syariah. Sumber hukum satu-satunya (mashdar al-hukmi) adalah al-Quran dan as-Sunnah. Allah Swt. berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
Jika kalian berselisih paham dalam suatu perkara, hendaklah kalian merujuk kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah) (QS an-Nisa’ [4]: 59).
Dengan berpegang teguh pada dua perkara ini kita tidak akan tersesat. Inilah yang disabdakan Rasulullah saw.:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ
Aku meninggalkan untuk kalian dua perkara dan kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku (HR al-Hakim).Karena itu, demokrasi dengan Islam bertolak belakang. Perbedaan secara mendasar demokrasi dengan Islam dilihat dari sumber kedaulatan ini. Memang, baik dalam Islam maupun demokrasi, rakyatlah yang memilih kepala negara. Namun, syarat kepala negara dalam sistem demokrasi dan Islam berbeda. Dalam Islam, misalnya, di antara syarat kepala negara adalah wajib beragama Islam dan laki-laki. Sistem demokrasi tentu tidak mensyaratkan hal itu.Dalam demokrasi, pemimpin dipilih secara rutin lewat Pemilu reguler. Sebaliknya, dalam Islam, selama pemimpin (khalifah) masih memenuhi syarat in’iqâd (pengangkatan) yang hukumnya wajib, juga selama tidak melakukan penyimpangan dalam bentuk kufr[an] bawah[an] (kekufuran yang nyata), ia tidak boleh diganti. Dalam Islam terdapat kewajiban untuk menaati pemimpin selama dia tidak menyimpang dari hukum syariah.Syura dalam sistem Islam juga berbeda dengan demokrasi. Kata Syaikh Abdul Qadim Zallum (1990), “Demokrasi bukanlah syura, karena syura artinya adalah meminta pendapat (thalab ar-ra’y). Sebaliknya,demokrasi adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang dan sistem (pemerintahan).”Jelas, dilihat dari sejarah kemunculan sistem demokrasi yang berasal dari Barat, prinsip pokok, berikut mekanisme yang ada di dalamnya, demokrasi tidak ada hubungannya dengan Islam. Sistem ini bahkan bertentangan 100 persen dengan sistem Islam. Sistem ini tidak lain merupakan sistem kufur. Dalam Islam tasyabbuh (menyerupai, meniru-niru) orang-orang kafir jelas diharamkan. Apalagi meniru dan mempraktikkan sistem ideologi mereka yang kufur. Berkaitan dengan ini, Syaikh Ali Belhaj (pemimpin senior FIS Aljazair) dalam bukunya, Ad-Damghah al-Qawwiyah li Nasfi ‘Aqîdah ad-Dimuqrathiyah, mengutip pernyataan Sayyid Qutb tentang haramnya tasyabbuh ini. Sayyid Quthub mengatakan, “Rasulullah melarang kaum Muslim ber-tasyabbuh dalam pakaian dan penampilan, gerak dan tingkah-laku, perkataan dan adab. Sebab, di balik semua itu terdapat perasaan batin yang membedakan konsep, manhaj dan watak jamaah Islam dengan konsep, manhaj dan watak jamaah lainnya. Rasulullah juga melarang kaum Muslim untukmenerima(hukum/aturan/ideologi) selain dari Allah Swt. Padahal manhaj yang Allah berikan kepada umat ini adalah untuk diwujudkan di muka bumi.” [Farid Wadjdi]
 
Oleh: Ihsan Tandjung
Dalam surat yang dikirim kepada suku Najran yang beragama Nasrani, Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam menyampaikan seruan sebagai berikut:
فإني أدعوكم إلى عبادة الله من عبادة العباد
“Sesungguhnya aku menyeru kalian kepada penghambaan Allah ta’aala semata dan meninggalkan penghambaan sesama hamba.” (HR Al-Baihaqi 2126)
Demikianlah, Islam datang membawa seruan abadi agar manusia hanya menghambakan diri kepada Allah ta’aala semata. Ajaran Allah ta’aala tidak membenarkan adanya penghambaan antara sesama hamba. Manusia tidak dibenarkan untuk menghamba kepada sesama manusia. Pengertian menghamba kepada sesama hamba bukan hanya dalam bentuk manusia bersujud di hadapan manusia lainnya. Tetapi pengertiannya mencakup ketaatan mutlak kepada sesama manusia. Fihak yang menerima penghambaan manusia disebut ”Ilah” yang biasa diterjemahkan sebagai ”tuhan” dalam bahasa Indonesia. Sesungguhnya ”Ilah” mengandung setidaknya tiga pengertian, yaitu: ”yang dicintai, yang dipatuhi dan yang ditakuti.”
Apa hubungannya dengan Sistem Demokrasi? Dalam Sistem Demokrasi sekumpulan manusia dipilih untuk kemudian ditempatkan pada posisi yang sedemikian istimewanya sehingga mereka diperlakukan sebagai fihak ”yang dicintai, yang dipatuhi dan yang ditakuti.” Dan semua ciri tersebut telah dibangun semenjak mereka masih berkampanye. Dalam berbagai spanduk kampanye, mereka dengan PD-nya (percaya dirinya) memperkenalkan dirinya sebagai: Jujur, Amanah, Bersih dll.
Ketika mereka telah duduk di kursi parlemen dengan mandat yang diterima dari konstituen yang mereka wakili, maka mereka kemudian memperoleh wewenang yang sedemikian besarnya sehingga mereka berhak menetapkan hukum yang akan diberlakukan di tengah masyarakat. Itulah sebabnya anggota parlemen di Amerika Serikat bahkan diistilahkan sebagai ”lawmaker” artinya pembuat hukum. Hak untuk merumuskan Undang-undang sama layaknya dengan hak menyusun hukum. Padahal di dalam kitab suci Al-Qur’an Al-Karim jelas dinyatakan bahwa hak menentukan hukum hanyalah hak prerogratif milik Allah ta’aala semata.
وَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah ta’aala, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah ta’aala. BagiNyalah segala penentuan(hukum), dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS Al-Qashash ayat 88)
Berdasarkan ayat di ayat jelas bahwa Islam tidak mengakui adanya fihak selain Allah ta’aala yang berhak menetapkan hukum. Penetapan Halal dan haram merupakan wewenang Allah ta’aala semata. Namun dalam sistem demokrasi, manusia (baca: anggota parlemen) berhak menentukan halal dan haram (baca: legal dan ilegal). Itulah sebabnya di Amerika misalnya, hubungan homoseksual dahulu pernah dianggap ilegal. Namun dengan berjalannya waktu ia bisa berubah menjadi legal. Suatu perkara yang mustahil terjadi di dalam sistem Islam. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda:
الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ
“Perkara yang halal itu sudah jelas dan perkara yang haram juga sudah jelas.” (HR Bukhary 1910)
Di dalam ajaran Islam urusan halal dan haram tidak boleh berubah mengikuti selera zaman dan manusia. Apalagi menjadikannya sebagai obyek voting. Seolah sesuatu boleh dianggap halal karena banyak pendukungnya, atau sebaliknya dianggap haram bila sedikit pendukungnya. Perkara ini merefleksikan kepatuhan dan loyalitas manusia terhadap ilah yang ia cintai, patuhi dan takuti. Hanya Allah ta’aala yang berhak menetapkan mana perkara yang halal dan mana yang haram. Manusia tinggal mematuhi saja sebagai bukti keimanan kepada Penentu Hukum Tertinggi, yaitu Allah ta’aala. Sekaligus hal ini merupakan manifestasi penghambaan dirinya kepada Penentu Hukum tersebut.
Dalam sistem demokrasi masyarakat kebanyakan menyerahkan ketaatan dan loyalitas kepada para lawmakers, yakni anggota parlemen. Lalu hak untuk menentukan perkara mana yang halal/legal dan mana yang haram/ilegal menunjukkan bahwa para lawmakers dibenarkan berperan sebagai penentu hukum. Jika kemudian produk hukum mereka dipatuhi masyarakat, berarti masyarakat telah menyerahkan loyalitas kepada para lawmakers tersebut. Dengan kata lain terjadilah penghambaan masyarakat luas kepada para lawmakers. Dan para lawmakers telah ”berperan sebagai tuhan” atau ”playing god”. Masyarakat luas menjadi hamba sedangkan kumpulan lawmakers menjadi ilah masyarakat. Itulah sebabnya di berbagai negara modern yang menerapkan sistem demokrasi dewasa ini terjadilah perlombaan yang begitu semarak untuk menjadi kelompok elit anggota parlemen. Setiap orang yang mengkampanyekan dirinya untuk merebut kursi parlemen rela berkorban untuk mendapatkannya. Berapapun mereka bayar asal dapat kursi empuk tersebut. Hal ini bukan hanya terjadi di negara yang dianggap masih baru berdemokrasi. Bahkan di Amerika sekalipun hal seperti ini berlangsung dengan transparan.
Senator Ted Stevens dari partai Republican mewakili negara bagian Alaska baru-baru ini terbukti lewat pengadilan telah melakukan tujuh pelanggaran korupsi. Secara teori ia bisa diancam total tigapuluh lima tahun masa penjara. Namun para ahli mengatakan bahwa kemungkinan besar masa tahanannya tidak akan selama itu, bahkan mungkin tidak akan ditahan samasekali..! Senator Stevens yang berusia 84 tahun telah menjadi lawmaker semenjak tahun 1968. Ia terbukti telah menyembunyikan fakta bahwa dirinya menerima total uang sebesar $250.000 sejak 1999 hingga 2006 untuk sejumlah hadiah dan biaya renovasi rumahnya di Alaska. Namun jika ia akhirnya harus diberhentikan dari posnya sebagai anggota parlemen, Senator Stevens tetap berhak menerima uang pensiun sebesar $122.000 per tahun, sebab ketujuh pelanggaran yang telah dilakukannya tidak mencakup pelanggaran yang bisa membatalkan haknya menerima pensiun ...!!!
Demikianlah, sistem demokrasi menjamin dan melindungi para ”tuhan” mereka di tengah masyarakat yang setia menjadi hamba-hambanya.
Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar itu benar dan berilah kami kekuatan untuk selalu berfihak kepadanya. Dan tunjukkanlah kepada kami bahwa yang batil itu batil dan berilah kami kekuatan untuk menolaknya. Amin.

dari:  http://www.eramuslim.com/suara-langit/penetrasi-ideologi/sistem-demokrasi-penghambaan-sesama-hamba.htm